Dalam pasal 20 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Selanjutnya pada ayat kedua pasal ini dijelaskan bahwasanya hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Ada beberapa syarat yang tercantum dalam UUPA pasal 21 mengenai orang-orang yang memiliki hak milik diantaranya adalah :
1. WNI
2. Badan hukum yang dibuat dan berkedudukan di Indonesia
3. WNA yang sesudah berlakunya UUPA memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta akibat perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UU ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara
Kemudian hak milik dapat hapus atau hilang disebabkan oleh beberapa faktor yang
dijelaskan pada pada pasal 27 UUPA, yakni :
1. Tanahnya jatuh kepada Negara
a. Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18
b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
c. Karena ditelantarkan
d. Karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2
2. Tanahnya musnah
Dalam pasal 15 UUPA disebutkan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban bagi tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang berekonomis lemah.
Tanah sebagai sumber daya alam yang sangat dekat dengan manusia dimana setiap manusia membutuhkan adanya sumber daya alam tersebut guna memenuhi kebutuhan hariannya seperti untuk membangun rumah sebagai tempat tinggal dan berlindung dari segala mara bahaya, untuk bercocok tanam demi menghidupi kehidupannya maupun sebagai tabungan dimasa depan. Namun di Indonesia masih banyak masalah mengenai tanah kosong yang belum dimiliki atau dikelola baik oleh manusia.
Dalam islam tanah kosong tak bertuan disebut ardh mawat yakni tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang dan belum digarap. Imam Abu Hanifah mendefiniskan tanah mawat sebagai tanah yang jauh dari suatu kawasan yang telah diusahakan dan tidak kedapatan air, sedangkan menurut Imam Malik tanah mawat yakni tanah yang bebas daripada kepemilikan tertentu. Menurut Mazhab Hambali tanah mawat yakni tanah yang diketahui tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak kedapatan tanda-tanda tanah itu telah diusahakan. Sedangkan menurut al mawardi dari Mazhab Syafi’i tanah mawat yakni tanah yang belum diusahakan.
Hukum islam mewajibkan manusia mendayagunakan tanah mawat atau biasa disebut dengan ihya mawat al ardh yakni dengan cara memanfaatkan tanah tersebut untuk menjadi tempat tinggal, bercocok tanam, dan lain-lain.
Tanah kosong atau tanah terlantar dalam hukum positif dimaknai dengan tanah yang tidak dipelihara, terbengkalai dan tidak terawat. Dalam Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 1998 pasal 1 ayat 5 dikatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Selanjutnya dalam Pasal 3 disebutkan bahwasanya yang tidak termasuk kedalam objek penertiban tanah terlantar adalah tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya serta tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Dalam islam tanah yang ditelantarkan kemudian dirawat akan menjadi hak milik bagi orang yang merawatnya berdasarkan hadits Nabi saw yang artinya siapa saja yang menghidupkan tanah mati, mak hak baginya tanah tersebut. Hadits tersebut menjelaskan bagaimana kepemilikan tanah tak bertuan dapat dimiliki secara mutlak yang artinya siapapun bisa memiliki hak milik terhadap tanah terlantar dengan I’tikad yang baik menjadikan tanah tersebut sebagai lahan yang produktif .
Dalam hukum positif, tanah yang ditelantarkan menjadi milik Negara namun apabila diurus oleh individu tertentu kemudian ingin memilikinya maka dia harus mendaftarkan tanahnya kepada BPN sesuai dengan ketentuan pasal 19 UUPA setelah dilakukan identifikasi dan penelitian secara mendalam oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yakni pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, karena pada dasarya hak milik dapat terjadi melalui tiga cara yakni menurut hukum adat, menurut ketentuan UU, dan melalui ketetapan pemerintah.
Sumber Hukum
[1] PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar